Karya:
Rahmatul Muzakir
Aku Andika, anak pertama
dari kedua orang tuaku. Ayahku bernama Letjen Andi Raisman dan Ibuku bernama Aninda
Rahma Wati. Angka keberuntunganku adalah angka 24. Karena, aku di lahirkan
tepat tanggal 24, bulan ke 4 dari 12 bulan masehi pada tahun aku di lahirkan,
yaitu 1994. Itu sebabnya angka keberuntunganku adalah angka 24. Nenekku
berkata, “Belilah apapun barang kesukaanmu warna hijau, dan pada tanggal 24
maka kamu akan mendapat keberuntungan.” Namun aku tidak percaya pada apa yang
dikatakan nenek. Aku beli barang pada tanggal 18 dan warnanya biru. Ternyata
nenekku benar, aku kena sial. Pagi sial, siang pun sial. Namun setelah mandi
sore, kesialanku pun berakhir tanpa jejak.
Esok harinya, aku pergi sekolah. Lalu aku bertemu orang yang
memakai baju biru. Setelah itu, aku pun kena sial. Aku terpleset di selokan dekat
sekolah. Semua teman-teman menertawaiku, dan aku pun jadi malu. “Aduh sialan
aku kena sial lagi gara-gara melihat orang yang memakai baju biru itu,” gumamku
dalam hati yang terluka karena ditertawakan teman-temanku. Tiba di sekolah, aku
pergi ke toilet lalu ku cuci mukaku dengan rasa gumam.
Aku mulai berfikir, kalau keberuntunganku letaknya di angka 24,
berarti aku harus mencari cewek yang tanggal lahirnya sama denganku. Kalau
tidak, aku tidak akan mendapat kekasih idamanku selama ini. Lalu aku bertanya
pada sahabat karibku sejak kecil, yaitu Toni. Ia adalah sahabat yang bisa mengerti
perasaanku saat ini. Kalau urusan perempuan, dialah rajanya. Lalu dia
mencarikanku seorang wanita, ketika aku
makan bersama di Lesehan Tifa. Dia mengatakan ada beberapa cewe’ yang lahirnya tanggal 24, yaitu Rena, cewek yang suka banyak
makan, tidak begitu menarik, Anita, cewek yang sukanya shopping, dan bagiku dia juga tidak begitu menarik. Dan yang
terakhir adalah Sherina, artis yang cantiknya tidak tertandingi. Walaupun aku
sama sekolah dengannya, sifatku lumayan pemalu, jadi aku akan coba dulu pedekate sama dia.
Ketika jam istirahat dibunyikan, aku makan di kantin Bu Eli
dengan Toni. Toni melirik ke arah
Sherina. Ia bilang padaku ,”Hey, Ka. Lihat tuh si cewe’ cantik lagi makan di meja sebelah.” Aku pun terkejut. Lalu ku
sapa dia, dan pura-pura nanya namanya,
walaupun aku sudah tahu namanya sejak kelasnya tetanggaan dengan kelasku, lalu
aku ajak ngobrol dan aku janjikan
akan sama pulangnya dengan dia. Bel jam pulang pun berbunyi, aku menunggunya di
pintu gerbang menjelang pulang, dan aku mengajaknya jalan-jalan ke Puncak. Dan
pada saat itulah, aku menyatakan perasaan yang telah lama disimpan di hatiku,
aku merasa cemas dan takut kalau cintaku ditolak. Aku tidak akan dapat cewe’
cantik lagi. Lalu dia menjawab isi hatiku dengan jawaban yang kuinginkan, lalu
aku langsung berteriak,”Ternyata, aku bisa mendapatkan kekasih hati yang selama
ini aku dambakan. Hey, langit dan bumi, dengarkanlah perasaanku saat ini, turunkan
hujan sebagai bukti rasa cintaku padanya,” begitu hujan turun, aku segera
memeluk dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Lalu dia tersenyum manis
padaku, dan aku langsung menyapa senyumannya dengan senyum bahagiaku.
Setelah kembalinya aku dari puncak itu, aku langsung mengantar
dia pulang, karena aku takut dia sakit. Sesampainya di rumahnya, aku bertemu
dengan Ibunya Sherina. Aku menyapanya dan beliau membalas sapaanku dengan
senyuman,”ada apa dengan anakku?,” aku jawab, “Tidak ada apa-apa dengan Sherina
kok bu, saya hanya ingin mengantarnya pulang saja. Karena hari hujan, saya
takut dia sendirian pulangnya. Hujan-hujanan lagi,”kataku. ”Ooo... Makasih ya
nak. Mungkin kalau tidak ada nak Dika, anak satu-satunya ibu jadi sakit karena kehujanan,
tidak mungkin kan, kalau perempuan dibiarkan sendirian kehujanan,”kata ibu
Sherina. “Ya bu. Terima kasih ya bu. Saya
pulang dulu, Assalamualaikum”.
Keesokan harinya, aku mencari kekasih hatiku ke kelasnya, kata
temannya dia tidak masuk sekolah hari ini, dan sewaktu pulang sekolah aku
langsung menyusulnya ke rumahnya. Rupanya dia tidak ada di rumahnya. Aku
teringat kemaren hari hujan. Mungkin dia sakit. Lalu aku pergi ke rumah sakit. Rupanya
dia ada di rumah sakit. Sambil lewat, aku mendengar ucapan seorang dokter
kepada ibu Sherina. Rupanya Sherina
menderita penyakit jantung. Mendengar ucapan itu, aku langsung ke kamar Sherina,
yaitu kamar 024. Aku melihatnya sedang diperiksa oleh seorang dokter. Aku
mendengar ucapan dokter pada Sherina. Dokter itu mengatakan bahwa Sherina akan
segera dioperasi oleh tim dokter.
Ketika Sherina akan dioperasi, aku membuat surat untuknya. Aku
bilang pada dokter tersebut agar mengganti nyawaku dengan nyawanya, yaitu
dengan mengganti jantungnya dengan satu-satunya jantung yang ku punya. Lalu
dokter segera mempertimbangkannya, dan mengatakannya pada Ibu Sherina, dan Ibu Sherina menyetujui permintaanku. Begitu juga dengan
dokter. Aku menitip beberapa lembar surat dan seuntai bunga mawar kepada Ibu Sherina.
Pagi itu dingin sekali. Udara yang dihirup oleh kekasih hatiku
adalah udara yang selalu dihirup oleh nyawaku. Lalu Sherina menanyakan tentang
diriku kepada ibunya. Ibunya pun memberikan surat dan bunga mawar dariku
untuknya. Setelah ia membacanya, dia merasakan denyut jantungku di dadanya. Sambil
menangis, dia berteriak, ”Mengapa kau tinggalkan diriku, dengan menukarkan nyawamu dengan
nyawaku ?” Lalu dia menangis sambil berlutut dihamparan pasir di depan rumahnya.
Sudah seminggu Sherina
tidak sekolah karena menangis atas kepergianku. Akhirnya dia mulai mengerti cinta
suci itu apa. Yang dia rasakan sejak pertama kali berjumpa denganku. Dan dia
mulai sadar cinta itu bukanlah permainan orang yang tak mengerti dengan arti
cinta sejati. Dia menatapi langit dan berkata di dalam hatinya, “Hanya kaulah yang dapat mencintaiku
sepenuhnya, dan aku tak akan mencintai siapa pun kecuali kamu, engkaulah cinta
sejatiku. Cinta pertama dan terakhirku.” Begitulah akhirnya Sherina mulai
menyadari arti cinta sejati itu dan itulah arti keberuntungan yang selama ini
yang tak pernah ku tahu.
0 komentar:
Posting Komentar